Cerpen Lomba HOS Tjokroaminoto
“Kibaran
Merah Putih oleh Seorang Bermata Jemari”
Tema : Nilai-Nilai HOS Tjakroaminoto
(Nasionalisme)
Prolog
Kebebasan
semakin nampak. Belenggu penjajah kian memudar di terpa waktu. Suara dentuman
ledakan telah hilang, begitupun dengan suara tangisan korban-korban telah
lenyap. Gelap dan pengap yang dirasakan segerombolan orang yang bernama rakyat
kini telah berganti cahaya. Berganti menjadi jalan keluar menuju peperangan
selanjutnya. Namun, kali ini bukan perang seperti sebelumnya, yang ketika senjata
selalu siap ditembakkan, ketika bambu runcing siap menuju sasarannya dan ketika
parang panjang siap di hunus mengusir para bedebah penjajah bangsa.
Lalu, peperangan seperti apa lagi
yang harus dihadapi oleh rakyat Indonesia setelah menyatakan merdeka selama 70
tahun ? Peperangan yang tentunya takkan pudar di terpa waktu, yaitu perang
melawan kebebasan yang sebebas-bebasnya, perang melawan diri sendiri saat
nasionalisme memudar dalam diri serta banyak hal yang menyangkut perilaku yang
justru membawa bangsa menjadi terpuruk kembali dalam kata “merdeka”. Presiden
pertama kita Ir.Soekarno pernah berkata “Perjuangan
kalian lebih berat daripada kami, karena kalian berjuang melawan bangsa
sendiri”.
Ketidakpedulian masyarakat yang satu
dengan yang lain telah menjadi hal biasa, diskriminasi dimana-dimana, semboyan
Bhinneka Tunggal Ika kini hanya tinggal semboyan belaka tanpa realisasi
konkret. Dengan diskriminasi yang masih dirasakan, apalah daya seorang anak
yang berkeinginan untuk mengharumkan nama bangsa di kancah dunia yang memiliki
keterbatasan fisik.
“Hai Andi !” kegetku pada seorang
anak yang lagi duduk manis di samping meja tennis ini.
“Kaka
! Bikin kaget aja, kurang kerjaan banget !” bentaknya dengan sedikit gusar.
Mungkin akunya berlebihan juga kali ya ngagetinnya. Hehehe
“Sorry,
sorry.. tadinya kaka Cuma mau bikin sureprise aja atas kedatangan kaka, eh
malah bikin Andi ngambek. Maaf ya Andi .. ?” Bujukku padanya
“Sureprise
apaan, jantungan iya.” Masih saja dengan muka masamnya.
“Tarraaaaaaa
!!!” Aku menggunakan jurus ampuhku untuk membuatnya tidak marah lagi. Aku
mengeluarkan sebuah benda yang dapat ku pastikan membuat cerianya kembali.
Langsung saja ku letakkan benda itu di tangannya.
“Buat
siapa ini ka ?” katanya dengan semangat, seakan bisa ditebak bahwa benda itu
memang untuknya.
“Ya
buat kamu lah !”
“Alhamdulillah,
terima kasih banyak ka, punyaku udah lama, yang ini pasti lebih nyaman di
pakainya.” Ucapnya sambil mengusap benda itu. Benda itu tidak lain adalah “bat”
yaitu salah satu peralatan yang digunakan untuk tenis meja. Kayu yang berbalut
karet khusus dan tipis itu dimainkannya dengan sangat mahir, terang saja, bat
telah menjadi salah satu teman yang selalu menemaninnya dalam perlombaan.
Benar saja, benar-benar ampuh
mengusir ambekannya padaku. Maklum saja, tenis meja adalah olahraga favoritnya.
Bukan hanya sekedar favorit, Andi sudah sering mengikuti perlombaan tenis meja
mewakili sekolahnya, tak jarang dia bertanding membawa nama kota, bahkan
provinsi. Hebat bukan ? Tentu saja hebat, namun ada yang jauh lebih luar biasa
lagi. Yaitu Andi adalah seorang anak tunanetra. Anak tunanetra adalah anak yang
memiliki hambatan penglihatan baik itu sebagian (low vision) atau total (blind).
Andi bisa dikatakan memiliki hambatan total, karena hampir semua dari
penglihatannya tidak mampu diterjemahkannya. Namun, Andi masih bisa
mempersepsikan cahaya, yang berarti Andi masih mengetahui saat ada cahaya atau
pada saat gelap.
Maka dari itu, tentu saja dia agak
marah ketika aku mengagetkannya, karena bagi anak yang tidak mampu memlihat
keadaan sekitarnya, bisa saja hal yang kita anggap sepele seperti itu
benar-benar menakutinya. Namun, hebatnya dia langsung tau kalau yang nyamperin
dia itu aku, yaiyalaah, udah langganan juga datang nggak di jemput pulang nggak
di antar (lhoo, itu semboyan apa coba). Tentu penasaran dengan kemampuan
terbatas seperti itu, bagaimana seorang anak ini mampu bertanding dalam
berbagai ajang perlombaan tenis meja.
Bukankah
di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin? Tuhan selalu memberikan kelebihan
untuk setiap hamba-Nya serta cara Tuhan tidak pernah habis untuk membantu
setiap hamba-Nya yang berusaha. Begitu juga dengan Andi, Tuhan memberikannya
pendengaran yang cukup peka dalam mendengar suara gerakan bola tenis meja
tersebut. Bola pingpong untuk tunanetra memang agak berbeda dari bola pingpong
biasanya, bola pingpong yang biasa digunakan Andi berisikan kerikil atau benda
kecil semacamnya yang dapat dimasukkan ke dalam bola tersebut. Itu dilakukan
untuk menimbulkan bunyi pada saat bola di pantulkan di meja tenis sehingga
pemain tunanetra mampu memprediksi dimana bola tersebut.
“Ngomong-ngomong, gimana sekolah ?
Ada perlombaan lagi ga ?”
“Untuk
saat ini ya belum ada lah ka, aku kan baru masuk SMA, jadi belum ada perlombaan
gitu.” Jelas Andi padaku
“Oh
iya ya, kamu kan baru masuk SMA.
Ciyyeeh yang sudah SMA.Heheheww…” Ledek ku padanya. Untuk sementara Andi memang
masih sibuk dengan berbagai kegiatan pertamanya di SMALB. Hari ujian yang cukup
melelahkan telah dia lewati dengan baik. Karena memang untuk anak-anak berkebutuhan
khusus juga ada ujian yang harus diikuti sama seperti anak pada umumnya. Jadi,
jangan dikira anak-anak ini ketinggalan belajar dari yang lainnya, bedanya
hanya saja mereka menggunakan jari jemari mereka untuk membaca tulisan Braille.
“Terus
kaka, ngapain ke sini sore-sore gini ?”
“Lho,
emangnya kaka nggak boleh ya ke sini ? Apa di sini juga ada jam besuk gitu ?”
tanyaku balik yang nggak bisa buat dia berkata-kata lagi. “Hee.. kaka ke sini
buat bantuin persiapan 17 Agustus-an nanti. Jadi saat 17-an nanti panti ini
bakalan seru dengan banyak perlombaan kecil-kecilan. Seru kan ??” jelasku pada
Andi.
“Wuiiihhh,
yang bener kak ? kok aku nggak tau sih, anak-anak juga nggak ada yang ngebahas
soal ini.” Tanya Andi rada kaget.
“Yaiyaalah
Ndi, itu kan rencananya mau di kasih taunya sehari sebelum hari H aja, tapi
buat kamu special deh kaka beritahu duluan.”
“So
so an spesial lagi, emang kakanya aja yang nggak bisa jaga rahasia.” Duuh ni
anak kok tau banget seluk beluk aku siih. “Jadi bakalan asik dong panti ini,
kita yang di dalam sini kan memang perlu juga ikutan memeriahkan hari
kemerdekaan bangsa sendiri.” Katanya dengan antusias. Maklum saja, Andi beserta
teman-teman yang lain memang agak jarang mengikuti kegiatan semacam ini di
luar, jadi kami (saya dan pengurus panti beserta guru-guru) berinisiatif untuk
mengadakan acara sendiri di panti ini. Andi, sudah sejak Sekolah Dasar tinggal
dan bersekolah di sini. Iya, inilah panti sosial khusus untuk anak tunanetra.
Di sini bukan hanya terdapat panti, namun juga terdapat sekolah swasta yang
berada satu lokasi dengan panti ini. Panti sosial ini memang cukup besar dibanding
panti-panti di wilayah itu, karena cucuran dana dari pemerintah melalui dinas
sosial memang mengalir dengan baik.
Sayangnya, saat Andi tinggal di sini tak
pernah ada satupun keluarga yang datang menjenguknya, bahkan ketika hari lebaranpun
Andi hanya menghabiskan waktunya bersama dengan teman-teman panti yang lain.
Itulah yang membuatku belajar banyak hal dari anak-anak di sini, di saat
anak-anak seusia mereka mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya, mereka malah
sebaliknya, di asingkan. Namun, tetap saja mereka hidup dengan baik di panti
ini, tanpa takut kekurangan kasih sayang, pengurus panti selalu memberikan
kebutuhan yang cukup untuk anak-anak di sini. Mereka tetap memilik cita-cita
yang ingin mereka raih, tanpa takut akan dunia yang secara kasat mata akan
lebih sulit untuk mereka. Mereka mempunyai semangat yang bahkan tak ku miliki. Ketika
tugas kuliah menumpuk, hatiku sangat sering menggerutu, mengeluh. Sangat malu
rasanya berhadapan dengan mereka ketika aku terus mengeluh dengan hidupku yang
sedikit saja lebih beruntung dari mereka karena melihat indahnya dunia. Jadi,
tidak salah bukan, kalau hampir semua tulisanku berisi tentang anak-anak
berkebutuhan khusus, karena memang mereka lah inspirasi terbesarku dalam
menulis. Mereka telah menjadi bagian dalam hidupku yang di amanahkan Tuhan
untukku melalui pendidikan. Alhamdulillah, aku sangat bersyukur akan itu.
Terus
siapa sebenarnya aku? Yang dengan mudah masuk semaunya ke panti ini? Anak
pengurus panti? Atau pengurus panti? Hehe .. Aku hanya seorang mahasiswi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di jurusan Pendidikan Luar Biasa/
Pendidikan Khusus di salah satu Universitas Negeri di Banjarmasin. Karena aku
berada di jurusan yang memang menangani anak-anak berkebutuhan khusus (termasuk
anak tunanetra tentunya) jadi kami memang cukup sering berkunjung ke panti ini.
Namun, karena tempat tinggalku cukup dekat dari sini tentu saja aku lebih
sering berkunjung ke sini, hitung-hitung sambil bantu pengurus panti juga.
“Udah
sore nih, mandi gih sana, kaka sekalian mau ke kantor juga.” Bujuk ku pada
Andi.
“Oke
deh, aku masuk ya kak, sekali lagi terima kasih banyak untuk “bat”nya, aku
pasti lebih semangat lagi mainnya dan janji deh bakal menangin semua
pertandingan dengan hadiah kakak ini, kalau bisa aku ingin sampai keluar negeri
untuk mewakili Indonesia kak.” ucapnya dengan polos serta semangat. Aku hanya
bisa tersenyum dengan haru mendengar semangatnya, meskipun dia tidak bisa
melihat senyumku untuknya.
“Aamiin,
kakak selalu berdo’a untuk cita-cita Andi, biar bisa pergi keluar negeri
membawa nama harum bangsa. Pokoknya Andi harus jaga baik-baik bat itu yah dan
kakak akan selalu ingat janji Andi. Oke ?”
“Okee
!” dengan semangatnya mengacungkan jempolnya. Andi berlalu meninggalkanku
menuju kamarnya. Meskipun dia memiliki hambatan penglihatan, namun panti ini
memiliki aksesibilitas yang baik untuk anak-anak seperti mereka sehingga
anak-anak dengan mudah menuju tempat yang dia inginkan di tempat sebesar ini.
Andai semua tempat umum punya aksesibilitas seperti di sini, pasti akan
memudahkan mereka yang disabilitas untuk menggunakan fasilitas umum seperti
orang pada umumnya. Untuk penyandang disabilitas memang masih sulit menggunakan
fasilitas umum, jika pemerintah tidak mendukungnya. Apakah mereka hanya bisa
hidup di dalam gedung ataupun tempat yang besar tanpa bisa menikmati lingkungan
sekitar? Apakah dengan penglihatan mereka terbatas, lingkungan mereka juga
terbatas? Lalu, apakah itu yang dimaksud
dengan merdeka untuk seluruh rakyat Indonesia? Entahlah, jika menanyakan hal
semacam itu kepadaku, jelas aku mengatakan TIDAK. Akan tetapi, jika pertanyaan
itu ditujukan kepada pemerintah, mungkin jawabannya akan berbeda, yang pasti
aku akan mendengar jawaban yang sangat panjang dan berbelit-belit karena
terlalu banyak alasan.
Hari
yang di nanti anak-anak pun tiba. Senin,17 Agustus 2015 di panti itu
benar-benar di sulap seperti lapangan bermain. Acara peringatan 17 Agustus di panti
ini agak beda dari peringatan seperti yang di lakukan orang-orang pada umumnya
alis anti mainstream. Jika orang-orang di luar pada lomba makan kerupuk, balap
karung, membawa kerikil pakai sendok dan sebagainya, berbeda dip anti ini. Ya
coba kalian bayangkan aja, masa anak-anak dengan hambatan penglihatan main
permainan seperti di atas? Pasti sulitkan untuk mereka. Maka dari itu, lomba
yang kami berupa permainan olahraga dan kesenian yang sebenarnya sering mereka
lakukan di waktu luang, namun kali ini mereka yang menang akan mendapat hadiah
kecil dari kami. Permainannya ada berupa sepak bola, catur, tenis meja, untuk
keseniannya berupa lomba cipta baca puisi, menyanyi, serta hiburan dari musik
panting(musik tradisional khas Kalimantan selatan). Musik panting dari
anak-anak panti memang sudah terlatih untuk menghibur di acara-acara formal
yang diselenggarakan pemerintah, karena panti memang lengkap dengan fasilitas
musik, baik itu musik tradisional maupun modern.
Anak-anak
mendengarkan pengarahan dengan baik dan penuh antusias mengenai berbagai
perlombaan kecil-kecilan ini. Dari yang tingkat sekolah dasar (SD) sampai SLTA
mengikutinya dengan semangat. Ku lihat Andi yang lagi memegang bat yang ku
berikan kemarin sangat bersemangat mendengarkan. Maklum saja, tidak ada
perlombaan di waaktu dekat ini membuatnya merindukan arena pertandingan,
meskipun ini hanya lomba yang kecil. Setelah pengarahan berakhir masing-masing
peserta menuju tempat lomba-lomba yang mereka ikuti sesui yang telah di
tentukan. Ada yang menuju lapangan bola, karena memang panti ini cukup besar,
jadi tidak mustahil ada lapangan sepak bola mini untuk mereka. Permainannya
sepak bolanya pun hampir sama dengan sepak bola pada umumnya, bedanya bola yang
di pakai di masukkan sesuatu agar menimbulkan bunyi(sama seperti tenis meja)
karena memang sekali lagi, untuk anak tunanetra pendengarannya berfungsi
sebagai mata kedua untuk mereka.
Selain
permainan olahraga, peserta lomba kesenian seperti menyanyi dan cipta baca
puisipun menuju tempat perlombaan. Lomba cipta baca puisi kali ini bertemakan
tentang kemerdekaan (ya iyalah, namanya saja acara 17-an). Melihat mereka yang
sangat antusias mengikuti lomba-lomba ini, aku merasa bahagia. Terlihat bahwa,
mereka memang jarang merayakan acara kemerdekaan seperti ini, terharu rasanya
melihat kebahagiaan mereka kali ini. Kakiku kemudian melangkah menuju arena
permainan tenis meja. Ku lihat seorang anak yang terus menyunggingkan senyumnya
pertanda semangatnya memuncak. Di tangannya terlihat benda yang dipegangnya
erat, iya itu lah Andi yang sudah tidak sabar menunggu gilirannya untuk
bertanding. Entah kenapa aku sangat yakin bahwa dia akan menepati janjinya
untuk bertanding sampai di luar negeri, karena keinginannya untuk mengibarkan
bendera merah putih di ajang perlombaan sangatlah kuat, di tambah guru
sekaligus pelatihnya menuturkan bahwa Andi sangat giat berlatih. Semoga saja
Allah SWT mengijabah do’a anak ini.
Perlombaan-perlombaan
berlalu seiring berjalannya waktu. Tak terasa sampailah pada proses pembagian
hadiah serta acara yang bisa disebut acara puncak pada hari itu. Musik panting
mengawali jalannya acara tersebut, meskipun keringat membasahi tubuh mereka,
tak nampak sedikitpun lelah di raut wajah mereka. Mereka tetap antusias
mengikuti jalannya acara sampai akhir. Hingga tibalah acara yang mereka
tunggu-tunggu, yaitu penyerahan hadiah bagi para pemenang lomba. Anak-anak
tampak bersorak ria mendengar akan di umumkannya pemenang-pemenang tersebut,
tak ketinggalan Andi yang telah memenangkan pertandingan tenis meja dengan
mulus.
“ciyyeeh
yang baru menang!” ucapku pada Andi.
“Hehehe,
ini berkat bat yang kaka berikan, makanya aku menang dengan mulus.” Katanya
semangat sembari memamerkan bat yang dia pegang.
“Bukan
hanya karena batnya yang hebat, namun karena yang memainkannya juga hebat.
Orang udah melalang buana bertanding sana sini, ya perlombaan gini mah kecil
kan buat Andi.”
“Kecil-kecil
gini kan tetap saja ini berarti buat aku, bagaimanapun bat yang kaka beri
pertama kali aku gunakan di perlombaan kecil ini. Semoga ini jadi awal yang
baik untuk pertandingan berikutnya ya kak.” Katanya dengan penuh optimis
“Aamiin.
Jangan lupa do’a ya Ndi. Udah siap nerima hadiahnya?” tanyaku basa basi.
“Iya
dong!”
Lagi-lagi
anak ini membuatku berdecak kagum, membuatku selalu ingin menitikkan butiran
bening dimataku. Entah apa sebenarnya yang dia miliki, hingga memiliki sikap
optimis seperti ini.
“Oke.
Sebelum kita membagikan hadiah, tidak sakral jika acara 17 Agustus-an tidak
kita warnai dengan hal yang membuat kita semakin mencintai bangsa kita ini.”
kata salah seorang guru yang berbiacara di depan.
“Sekarang
kita mulai dengan Sandi. Sandi, ayo ke depan.” Kata guru itu kembali. Sandi
yang terlihat heranpun ke depan. Aku hanya tersenyum melihat wajah mereka yang
penuh tanda Tanya, ini sengaja di buat agar peringatan 17 Agustus ini lebih
bermakna dan tentunya kami ingin meningkatkan rasa nasionalisme di diri
anak-anak spesial ini.
“Nah
Sandi, dan anak-anak yang lain akan mendapatkan pertanyaan yang sama setiap
kali nama kalian di panggil ke depan. Hanya satu pertanyaan kok, Apa yang ingin kalian lakukan untuk
Indonesia?. Itu saja, mudahkan? Ayo sekarang Sandi jawab, apa yang ingin
Sandi lakukan untuk negeri kita tercinta ini?” Tanya guru itu kepada siswa
kelas 3 SMALB ini.
Sandi
sedikit berfikir sebelum akhirnya menjawab. “apa yang dapat saya lakukan ketika
melihat bendera Indonesia saja saya tak mampu? Namun, sekolah mengajarkan saya
untuk berbudi pekerti yang baik, karena itu saya akan jadi manusia yang
berakhlak mulia sesuai dan berbudi pekerti yang baik serta mandiri, agar
Indonesia tak perlu khawatir lagi dengan kita yang penyandang tunanetra.”
Hatiku tertegun mendengar jawaban sederhana itu namun cukup membuatku ingin
meneteskan airmata haru. Sebagai seorang calon guru untuk anak-anak
berkebutuhan khusus, saya merasa sangat malu jika saya tidak mampu membuat
pendidikan mereka terpenuhi dengan baik.
“Pemikiran
yang hebat Sandi, teruslah menjadi anak yang baik dan belajarlah
sungguh-sungguh agar kelak kamu dapat meraih cita-citamu sehingga bermanfaat
bagi orang-orang disekitarmu. Beri tepuk tangan dulu buat teman kita!” kata
guru yang di depan. Sontak tepuk tangan mengiringi kembalinya Sandi ke tempat
semula.
“Oke,
sekarang giliran Fatma ke depan.”
Fatma
pun segera ke depan dengan di bantu seorang guru. “Untuk bangsa Indonesia, saya
ingin menjadi seorang guru biar semua anak mendapatkan pendidikan yang baik
seperti saya, karena saya pernah mendengar bahwa anak-anak dengan kekurangan
yang lain masih banyak yang tidak memiliki pendidikan yang baik, bahkan mereka
tidak bersekolah. Saya beruntung berada di sini karena di sini saya mendapatkan
tempat tinggal yang nyaman dan sekolah yang baik, namun bukan berarti semua
anak dengan kekurangan seperti saya hidup dengan baik seperti saya. Karena itu
saya ingin pendidikan di Indonesia benar-benar adil untuk kami.” Jawab siswi
SMPLB ini dengan semangat. Sungguh benar apa yang dikatakan Fatma, panti ini
hanya sebagian contoh dari kehidupan anak-anak penyandang disabilitas yang
cukup baik, namun masih banyak anak-anak di luar sana yang jauh dari kata baik
dalam masalah pendidikan.
“Bagus
sekali Fatma, tepuk tangan untuk Fatma! Sekarang kamu kembali ke tempatmu.”
Kata guru itu.
“Oke,
sekarang giliran atlet kita, Andi ayo maju!”
Andipun
segera maju dengan masih memegang bat yang tadi digunakannya untuk main.
“Apa
yang kamu pikirkan Andi?” Tanya guru itu.
“Ini”
sambil mengacungkan batnya, meskipun teman-temannya nggak lihat juga sih. Hehe.
“Dengan menggunakan bat ini saya ingin mengibarkan bendera merah putih di ajang
tenis meja tingkat internasional. Saya akan memenangkan semua pertandingan
hingga saya bisa mewakili Indonesia. Dengan itu, Indonesia akan tau bahwa ada
saya yang memiliki kekurangan ini bisa mengharumkan nama Indonesia seperti atlet
pada umumnya. Meskipun saya tidak bisa melihat seperti apa Indonesia, namun
saya juga berhak untuk berbuat sesuatu untuk tempat kelahiran saya.” Jelas Andi
dengan semangat yang tak kalah dari teman-temannya. Jawaban Andi persis seperti
apa yang dijanjikannya kepadaku kemarin, sepertinya Andi benar-benar ingin
bertanding untuk nama Indonesia.
Anak-anakpun ke depan dengan bergiliran, jawaban yang mereka ajukan
sangat bervariasi, yang jelas mereka menunjukkan kecintaan pada bangsa ini
dengan cara mereka sendiri-sendiri. Aku sukses dibuat mereka terharu dengan
keinginan mereka, aku hanya bisa mengaimini keinginan mereka, semoga kelak
mereka benar-benar mencapai keinginan mereka. Aamiin…
Hari yang cukup melelahkan itu kemudian berlalu seiring terik
melambaikan tangannya. Aku memutuskan untuk pulang setelah membereskan kegiatan
yang telah berlangsung. Rasa kantuk tak mampu ku bendung, hingga terlelap
menuju kea lam mimpi. Iya, mimpi yang selalu ku amini, yaitu untuk menghapuskan
kata “diskriminasi” untuk anak-anak spesial yang punya cita-cita.
Beberapa bulan terkahir akhirnya kesibukanku kembali, ya nggak
sibuk-sibuk amat juga sih, lebih tepatnya kesibukan kuliah. Hehe. Begitu juga
dengan sekolah-sekolah di luar, anak-anak sekolah termasuk anak-anak panti
sudah sibuk dengan kegiatan pembelajaran di sekolah, inilah yang menyebabkan
aku sudah tidak mempunyai cukup waktu untuk mampir ke panti. Meskipun aku
kangen dengan mereka , namun aku harus benar-benar mencari waktu luang untuk ke
sana. Meski begitu, Andi tetap memberi kabar melalui handphone kepadaku, dan
kabar terakhir yang ku dapat adalah dalam dua minggu ini dia akan mewakili kota
Banjarmasin di Bogor dalam lomba tenis meja yang diadakan pemerintah untuk seleksi
pertandingan internasional Paralimpyc (Olimpiade penyandang disabilitas) di
London. Syukur yang tiada terkira setelah mendengar kabar gembira itu, tak
pernah henti ku panjatkan do’a agar cita-cita Andi untuk bertanding ke luar
negeri dapat terkabul. Tentunya setelah memenangkan beberapa pertandingan di Bogor.
Sehari sebelum keberangkatan Andi ke Bogor aku menyempatkan mampir
ke panti sepulang kuliah. Rindu rasanya setelah beberapa bulan tak menginjakkan
kaki di panti ini. Ternyata seperti biasa tiap sore Andi berada di tempat
latihan tenis meja. Kali ini bukan Andi yang sedang melamun yang terlihat,
namun Andi yang dengan semangatnya berlatih untuk pertandingan yang akan
dihadapinya. Aku langsung saja duduk di samping arena tenis meja itu sembari
menunggu Andi selesai. Akhirnya setelah beberapa menit berlalu Andi terlihat
duduk sambil meminum minuman yang ada di sampingnya. Terlihat memang kelelahan
namun semangatnya tak terlihat berkurang sedikitpun.
“Ehheemmm!” sengaja ku buat suara agar dia tak kaget dengan
kedatangan ku.
“Ka Ridha! Kok baru sekarang sih kesini, giliran aku mau pergi aja
baru ke sini, kemarin-kemarin kemana aja?” aduh ni anak mulai mengeluarkan
kalimat yang membuat aku mati kutu.
“He. Kakak kan kuliah, jadi agak sibuk gitu. Kakak emang sengaja ke
sini sebelum keberangkatan Andi. Biar bisa ngasih support dan semangat buat
Andi.” Jelasku membela diri.
“Kakak datang ke sini saja sudah syukur ka, siapa lagi yang
bela-belain nyemangatin aku selama ini selain kakak. Jangan lupa do’ain aku ya
kak, aku pengen banget kasih hadiah buat Indonesia di hari ulang tahunnya ini.”
“Pasti Ndi, kakak selalu do’ain kamu, kakak yakin kamu bisa
memenangkan pertandingannya semudah kamu menangin pertandingan di sini. Kamu
bisa membuktikan bahwa anak-anak yang istimewa seperti kalian mampu membuat
Indonesia bangga.” Yakinku pada Andi.
“Terima kasih banyak kak.”
Keesokan harinya Andi berangkat ke Bogor untuk seleksi di sana
dengan pertandingan yang cukup ketat. Aku harus bersabar menunggu kabar
darinya, karena aku khawatir akan mengganggunya dengan telepon dan pertanyaan-pertanyaan
dariku. Selama 5 hari Andi mengikuti seleksi di sana, tak sabar rasanya
menunggu kabar darinya. Semoga yang terbaik.
“Kriiiiinggg!” bunyi nada telepon ku mengejutkanku di saat
perkuliahan sedang berlangsung, tak hanya aku saja yang kaget namun semua mata
teman-teman memandangku karena sumber bunyi itu berasal dari tasku.
“Kenapa sempat lupa di silent sih!” bisik teman di sampingku.
Aku berlalu dan meminta izin keluar kepada dosen yang mengajar saat
itu untuk menerima telepon. Dan baru ku sadari telepon yang dari tadi berdering
bernama Andi.
“Assalamu’alaikum. Kenapa Ndi ?”
“Wa’alaikum salam kak! Kak aku menang ! Aku akan pergi ke London
mewakili Indonesia kak! Kakak jadi orang pertama yang aku telepon untuk ku
beritahu kabar bahagia ini! Terima kasih banyak ya kak!” suara yang membuatku
menitikkan airmata haru di seberang sana sukses membuatku tak mampu mengucapkan
satu katapun. Ingin rasanya berteriak, namun binirku kelu karena butiran bening
di pipi terlanjur membasahi. Airmata bahagia.
“Kakak? Kakak masih di sanakan?” Tanya suara di seberang sana
“Iya Ndi, kaka masih di sini, selamat ya Andi Saputra. Kamu
benar-benar menepati janjimu ke kakak. Terima kasih banyak Andi.” Isak tangis
haru tak mampu ku tahan. Allah SWT benar-benar mengabulkan tiap-tiap do’a kami
terutama Andi. “Kamu kapan pulang?” tanyaku padanya.
“Besok kak, tunggu aku yah. Udah dulu ya kak, aku udah di panggil
bapak. Assalamu’alaikum.”
“Iya, wa’alaikum salam.” Kebahagiaan dan kebanggaan ku kepada Andi
tak terbendung. Rasanya aku ingin sekali bertemu. Keinginannya untuk mewakili
Indonesia benar-benar akan terwujud dalam beberapa bulan lagi.
Bulan yang ditunggu-tunggupun tiba, hari berganti hari hingga
datanglah hari dimana Andi akan menginjakkan kaki pertama kalinya di luar negeri,
London. Iya, hari ini adalah hari keberangkatan Andi menuju Jakarta terlebih
dahulu dari Banjarmasin. Hingga nanti dari Jakarta akan berangkat ke London.
Aku tak bisa diam saja di rumah tanpa berbuat apa-apa untuk Andi, kulliahpun
rasanya tidak tenang jika aku tidak mengantarkan Andi ke bandara. Aku
memutuskan untuk mengantarkannya ke Bandara,setidaknya itulah support yang bisa
aku lakukan dari sini.
“Lakukan yang terbaik ya Ndi, apapun hasilnya itu urusan belakangan,
yang penting kamu sudah berusaha maksimal. Kamu berada di sana saja sudah
sangat membanggakan Ndi, kamu sudah membuktikan bahwa kamu mampu menjadi warga
Indonesia yang ikut andil memajukan bangsa ini. Dan tentunya,kakak sangat
bangga sama Andi karena telah menepati janji pada kakak.” Ungkapku sebelum
keberangkatan Andi di Bandara Syamsudinnor Banjarmasin.
“Iya kak, pasti! Aku akan melakukan yang terbaik. Aku benar-benar
akan membawa bendera kita di tengah banyaknya bendera lain. Terima kasih atas
dukungan dan do’anya sampai saat ini kak. Terima kasih membuat aku begitu
mencintai bangsa ini meskipun aku tak pernah sekalipun mampu melihatnya dengan
kedua mataku. Aku mampu merasakan bersyukur karena telah dilahirkan disini.
Sekali lagi terima kasih kak! Jangan nelpon-nelpon aku yah, Indonesia-London
kan mahal. Hehe.” Ungkapnya mengakhiri pembicaraan kami sebelum keberangkatan
pesawatnya.
Aku mneyadari bahwa setiap orang memiliki caranya masing-masing
untuk mengungkapkan cintanya kepada bangsa sendiri. Sudah seharusnya kita
sebagai pemuda pemudi penerus bangsa harus memiliki sikap nasionalisme
tersebut. Bukan hanya sekedar rasa cinta, namun pembuktiannya yang seperti apa.
Aku mungkin tak bisa membawa nama Indonesia di kancah dunia seperti halnya
Andi, namun yang dapat ku lakukan sebagai calon pendidik adalah berusaha sekuat
tenaga agar setiap anak di Indonesia mendapat pendidikan yang layak tanpa
terkecuali. Jika memang pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus (ABK)
masih menjadi point penting dalam pemerataan pendidikan, maka sudah semestinya
aku berjuang untuk memberikan hak-hak itu kepada anak. Karena bangsa yang maju
dapat di lihat dari pendidikan rakyatnya.
SEKIAN…….
Biodata Penulis
Penulis bernama
Raudatur Ridha. Beralamat di Jl. Brigjend H. Hasan Basry Komplek Kidaung Permai
RT 23 No 63, Banjarmasin. Sedang menempuh pendidikan S-1 di Universitas Negeri
Lambung Mangkurat Banjarmasin. Berada di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
di Program Studi Pendidikan Luar Biasa. Prestasi yang pernah di raih dalam
ajang menulis sebenarnya masih sangat minim dan masih banyak belajar. Di tahun
2014 pernah menjuarai lomba artikel tingkat Fakultas, di tahun 2015 pernah
menduduki juara 2 dalam lomba Karya Tulis Ilmiah Al-Qur’an. Serta pernah
menerbitkan buku bersama tentang hikmah menulis dengan judul “Menulis
Enjoy-Enjoy Sajalah!”.
Komentar
Posting Komentar