Ini Paper yang ngebuat aku menjadi juara 2 dalam lomba MTQM tingkat fakultas pada kategori Karya Tulis Ilmiah AL-QUR'AN
PENDIDIKAN INKLUSIF PENDIDIKAN YANG ISLAMI
Abstrak
Isu-isu tentang
persamaan hak dalam dunia pendidikan menjadi isu hangat saat ini, satu
diantaranya di picu oleh kenyataan terjadinya diskriminasi di dunia pendidikan.
Diskriminasi sangat dilarang sebagai umat beragama, terlebih Islam.
Islam sangat
mengahargai perbedaan dan melarang pendiskriminasian. Oleh karena itu,
pendidikan inklusif hadir menjawab konflik yang terjadi di dunia pendidikan
dengan dasar agama Islam. Maka pendidikan inklusif dapat di sebut dengan
pendidikan yang islami. Pendidikan inklusif yang islami di harapkan menjadi
penerang dan jalan bagi kaum yang termarginalkan untuk merasakan pendidikan
yang sebenarnya dan mampu menjadi pemersatu masyarakat sehingga menjadikan
masyarakat yang inklusif. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa islam adalah
agama yang rahmatan lil’alamin.
Kata kunci : Pendidikan Inklusif,
Masyarakat Inklusif dan Pendidikan Inklusif di Indonesia.
Pendahuluan
Di antara idealitas keagamaan Islam sebagaimana tertulis dalam
al-Qur’an[1] adalah untuk saling
mengenal dan menghormati berbagai budaya, ras, dan agama sebagai suatu realitas
kemanusiaan. Akan tetapi pada saat yang sama dunia diwarnai konflik akibat SARA
serta masih banyaknya ditemukan pendiskriminasian terhadap kaum-kaum yang
termarginalkan. Kesenjangan antara idealitas dan realitas itulah yang perlu
dijembatani dengan memberikan pemahaman pendidikan inklusif dalam proses
pendidikan keislaman.
Konsep pendidikan inklusif di rasa
mampu untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi khususnya di Indonesia. Dengan
semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang memiliki pengertian bahwa Indonesia merupakan salah satu bangsa di
dunia yang terdiri dari beragam suku, ras, budaya, bahasa, dan agama yang
berbeda-beda tetapi dalam kesatuan Indonesia. Semboyan tersebut menjadi
pengingat bahwa bangsa Indonesia mempunyai keragaman yang semestinya
diperlakukan dengan persamaan.
Dalam hal ini
pendidikan inklusif merupakan pendekatan yang bertujuan untuk melakukan
perubahan pendidikan dan budaya masyarakat secara menyeluruh, sejalan dengan
prinsip penyelenggaraan pendidikan dalam Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 4 ayat 1 yang berbunyi bahwa pendidikan nasional diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia (HAM), nilai keagamaan, nilai kultural, dan
kemajemukan bangsa.[2]
Ajaran Islam juga mengajarkan paham pluralitas keagamaan.[3] Bagi orang Islam, dianut suatu
keyakinan bahwa sampai hari ini pun di dunia ini
akan terdapat keragaman agama. Meskipun ada klaim bahwa kebenaran agama ada
pada Islam,[4] namun dalam al-Qur'an juga disebutkan
adanya hak orang lain untuk beragama. Dan agama tidak bisa dipaksakan kepada
orang lain.[5]
Sikap inilah yang menjadi prinsip pada masa kejayaan Islam sekaligus
mendasari kebijakan politik kebebasan beragama.
Inklusivisme Islam tersebut juga memberikan kekuatan bahwa Islam adalah agama
terbuka. Islam menolak eksklusivisme, absolutisme dan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pluralisme. Hal inilah yang perlu ditanamkan pada peserta didik dalam pendidikan
agama Islam agar bisa melahirkan sikap inklusif sekaligus toleransi positif
terhadap perbedaan.
Dari pandangan
ini, Islam dimungkinkan dapat menjadi pijakan bagi pendidikan inklusif tersebut. Dengan demikian dapat berguna
untuk menghadapi berbagai fenomena keagamaan di masa depan. Sebuah harapan baik
bagi kehidupan berbangsa karena dunia sekarang ini ditandai oleh konflik-konflik sosial yang sarat
akan diskriminasi baik dari agama, suku, budaya, jenis kelamin, ekonomi, kondisi
fisik, mental, intelektual, sosial, emosi dan sebagainya. Berdasarkan
paparan diatas dapat ditarik suatu masalah
bagaimana konsep pendidikan inklusif yang islami?
Pendidikan
inklusif
Pendidikan
inklusif sebagai sebuah pendekatan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan
belajar dari semua anak, remaja dan orang dewasa yang difokuskan secara
spesifik kepada mereka yang rawan dan rapuh, terpinggirkan dan terabaikan.
Prinsip pendidikan inklusif diadopsi dari Konferensi Salamanca tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus[6] dan
diulang kembali pada (Forum Pendidikan Dunia di Dakar,2000).
Secara
sederhana inklusif berarti “menyatukan”. Sebenarnya ada tiga istilah yang sering digunakan untuk
menggambarkan masyarakat yang mempunyai keberagaman tersebut (agama, ras,
bahasa, dan budaya yang berbeda).
Inti dari pendidikan inklusif ialah
kesediaan menerima kelompok lain tanpa memandang kondisi fisik, mental,
intelektual, social, emosi, ekonomi, jender, etnik, budaya, tempat tinggal,
bahasa maupun agama dan memberikan layanan terhadap semua anak dengan sama
tanpa perbedaan.
Konsep inklusif tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman
secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat
majemuk saja, karena inklusif menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
Inklusif adalah sebuah ideologi yang mengakui dan
mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara
kebudayaan.
Inklusif adalah
kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas dalam kehidupan
bermasyarakat. Kearifan ini terwujud apabila seseorang membuka diri untuk
menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas sebagai sebuah kemestian
yang tidak bisa diingkari ataupun ditolak, apalagi dimusnahkan. Inklusif bukan hanya
sekedar memasukan anak penyandang disabilitas dan anak-anak yang termarginalkan
ke dalam system yang kaku seperti sekarang, bukan pula persoalan
mengadaptasikan anak ke dalam sistem, akan tetapi persoalan mengadaptasikan
sistem yang ada pada semua anak.
Dengan demikian
inklusif harus berbasis pada pandangan filsafat yang melihat konflik sebagai
fenomena permanen yang lahir bersamaan dengan keanekaragaman dan perubahan yang
dengan sendirinya selalu terbawa oleh kehidupan itu sendiri. Secara positif hal
tersebut bisa dimaknai sebagai sesuatu yang positif untuk memperkaya
spiritualitas dan memperkuat iman. Dengan demikian inklusif bisa diibaratkan
seperti burung yang terbang ke angkasa, keluar dari batas-batas keberpihakan yang destruktif, melintasi
batas-batas konflik untuk memberikan solusi alternatif yang mencerdaskan dan
mencerahkan. Sebagaimana yang UNESCO canangkan bahwa pendidikan inklusif
berbasis pada Education for All.
Sebagai sebuah ide, inklusif diwacanakan pertama kali di Amerika dan
negara-negara Eropa Barat pada tahun 1960-an oleh gerakan yang menuntut
diperhatikannya hak-hak sipil (civil right movement). Tujuan utama dari
gerakan ini adalah untuk mengurangi praktik diskriminasi di tempat-tempat
publik, di rumah, di tempat-tempat kerja, dan di lembaga-lembaga pendidikan,
yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Selama itu,
di Amerika dan negara-negara Eropa Barat hanya dikenal adanya satu kebudayaan,
yaitu kebudayaan kulit putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada
dalam masyarakat tersebut dikelompokkan sebagai minoritas dengan pembatasan
hak-hak mereka.
Inklusif
dipandang sebagai sebuah proses dalam merespon kebutuhan beragam semua anak
melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan
mengurangi eklusifitas dalam pendidikan (Booth, 1996). Pendidikan inklusif mencakup perubahan dan modifikasi dalam isi,
pendekatan-pendekatan, struktur dan strategi yang dapat mengakomodasi kebutuhan
semua anak sesuai dengan usianya. Pendidikan inklusif dalam pelaksanaannya
merupakan tanggung jawab dari system pendidikan biasa untuk mendidik semua anak[7] .
Pendidikan inklusif sangat peduli dalam memberikan respon terhadap spectrum
kebutuhan belajar yang luas baik dalam setting pendidikan formal maupun
pendidikan non-formal.
Inklusif
menjadi gagasan yang cukup kontekstual dengan realitas masyarakat saat ini.
Prinsip mendasar tentang kesetaraan, keadilan, keterbukaan, dan pengakuan
terhadap perbedaan adalah prinsip nilai yang dibutuhkan manusia di tengah
himpitan budaya global. Dan pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk
membangun kesadaran tersebut. Hal ini karena pendidikan inklusif berusaha
mengeksplorasi perbedaan kemudian menyikapi dengan penuh toleran dan semangat.
Masyarakat
Inklusif
Pendidikan
inklusif adalah bagian dari strategi untuk memajukan masyarakat inklusif.
Masyarakat inklusif memungkinkan semua anak dan orang dewasa bagaimanapun keadaan mereka, gender,
kemampuan, ketidak mampuan serta etnik untuk berpartisipasi dan berkonstribusi
di dalam masyarakat. Prinsip-prinsip inklusif sebenarnya telah muncul dalam
tatanan masyarakat kita. Semangat dan nilai-nilai Bhinika Tunggal Ika telah
tumbuh dan tertanam serta telah diajarkan oleh leluhur masyarakat bangsa kita.
Fakta bahwa Indonesia merupakan sebuah negara besar
yang multi budaya, multi agama serta multi keberagaman yang lain sesungguhnya
merupakan sebuah media yang subur atas tumbuh dan berkembangnya inklusifitas.
Masyarakat inklusif bersifat terbuka dan universal serta ramah bagi semua yang
setiap anggotanya saling mengakui keberadaan, menghargai dan mengikutsertakan
perbedaan.
Dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa inklusif
merupakan sebuah nilai baru yang dipaksakan untuk masuk dan diadobsi oleh
tatanan masyarakat kita, namun sebaliknya, justru merupakan nilai-nilai yang
telah lama tertanam dalam tatanan sosial bangsa Indonesia. Sikap
masyarakat inklusif yang perlu dikembangkan menumbuhkan jiwa sportif dalam
bersosialisasi dan hidup bersama dengan orang lain, sehingga terdorong untuk
mengelola perbedaan secara etnis atau
mengembangkan kompetisi yang sehat meskipun memiliki pandanagan dan cara hidup
yang berbeda.
Pada saatnya
nanti masyarakat diharapkan memiliki sikap positif terhadap keragaman setiap
anak dan keragaman itu diakomodasi dalam pembelajaran di sekolah, serta
menyadari dengan baik bahwa anak-anak berkebutuhan khusus sangat dekat di
antara kita. Hanya saja, pemikiran masyarakat yang negatif yang membuatnya
terasa jauh.
Pendidikan Inklusif dalam Konteks
Indonesia
Terdapat dua
istilah yang sering digunakan dalam dunia pendidikan yaitu “pedagogi” dan
“pedagogik”. Pedagogi berarti pendidikan, sedangkan pedagogik berarti ilmu
pendidikan.[8]
Secara
sederhana, pendidikan adalah usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan
potensi-potensi bawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai
yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan.
Dalam
pengertian yang luas pendidikan sama dengan hidup, dalam arti segala situasi
dalam hidup yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Pendidikan juga bisa
diartikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang
hidupnya. Sehingga pendidikan tidak berlangsung dalam batas usia tertentu
tetapi sepanjang hidup manusia.[9]
Sedangkan
pendidikan inklusif pada dasarnya adalah kesediaan menerima kelompok lain tanpa
memandang perbedaan dan menghargai keberagaman. Pendidikan inklusif berkenaan
dengan aktivitas memberikan respon yang sesuai terhadap kebutuhan belajar baik
dalam setting pendidikan formal maupun nonformal. Namun, pada kenyataannya
tidak mudah mengimplementasikan pendidikan inklusif tersebut.
Pendidikan
inklusif diharapkan dapat menyelesaikan persoalan diskriminasi yang terjadi
di dunia pendidikan Indonesia atau paling tidak, mampu memberikan
penyadaran (consciousness) kepada masyarakat atau pihak sekolah bahwa
pendiskriminasian bukan suatu hal yang baik untuk dibudayakan. Selanjutnya
pendidikan juga harus mampu memberikan tawaran-tawaran yang mencerdaskan,
antara lain dengan cara mendesain materi, metode, hingga kurikulum yang mampu
menyadarkan masyarakat akan pentingnya sikap saling mengahragai, menghormati
perbedaan kondisi fisik, mental, sosial, emosi masyarakat Indonesia.
Adapun visi
dari pendidikan inklusif adalah mengoptimalkan potensi siswa dengan kebutuhan
khusus, sehingga dapat memenuhi tahapan perkembangan sesuai usianya dan dapat
mandiri di kehidupan sehari-hari. Serta misinya adalah Wadah pendidikan dan
laboratorium sosial bagi anak dengan kebutuhan khusus yang bertujuan untuk:
menjadi individu yang mandiri, mengoptimalkan kapasitas individu,
mengoptimalkan perkembangan emosi melalui pendekatan holistik antara sekolah,
orangtua, dan tim profesional agar mereka mampu menyesuaikan diri dalam
lingkungan sosial.
Alasan yang melatarbelakangi adanya pendidikan inklusif adalah semua
anak mempunyai hak untuk belajar bersama tanpa memandang perbedaan, anak tidak
harus diperlakukan diskriminatif dengan dipisahkan dari kelompok lain karena
keterbatasan yang dimilikinya, tidak ada alasan untuk memisahkan pendidikan
bagi anak yang memiliki kekurangan , karena setiap orang memiliki kekurangan
dan kelebihan masing-masing, dengan komitmen dan dukungan yang baik pendidikan
inklusi lebih efisien dalam penggunaan sumber belajar, selain itu semua anak
memerlukan pendidikan yang membantu mereka berkembang untuk hidup dalam
masyarakat yang normal serta hanya sistem inklusilah yang berpotensi untuk
mengurangi rasa kekhawatiran, membangun rasa persahabatan dan saling
mengahargai.
Hal yang harus
di garis bawahi dalam pemahaman sistem pendidikan inklusif adalah bahwa semua
anak mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing yang menjadi tolak ukur
untuk melaksanakan pembelajaran yang fleksibel serta memenuhi kebutuhan anak.
Di dunia ini, khususnya di Indonesia tidak hanya terdapat anak-anak yang biasanya
kita sebut dengan anak “normal”, namun juga terdapat anak-anak yang memiliki
keterbatasan atau hambatan dalam segi fisik, sosial, mental serta intelektual
yang di bawah rata-rata. Oleh karena itulah, sistem pendidikan inklusif mampu
menjawab kekhawatiran jika anak-anak tersebut tidak mendapat pendidikan yang
ramah.
Pendidikan
Inklusif Pendidikan yang Islami
Pada umumnya
pendidikan agama di sekolah formal tidak menghidupkan pendidikan inklusif
dengan baik, bahkan hampir tidak di singgung sama sekali. Akibatnya, peserta
didik tidak mendapatkan pelajaran tentang bagaimana mengahadapi perbedaan serta
menerima kekurangan dan keterbatasan orang di sekitarnya.
Sikap inklusif sebenarnya telah ada sejak jaman nabi Muhammad Saw. yang
sangat menghargai akan perbedaan, baik itu perbedaan suku, fisik, maupun agama.
Islam sangat menolak eksklusivisme, absolutisme. Hal inilah yang perlu ditanamkan pada peserta didik dalam pendidikan
agama Islam agar bisa melahirkan sikap inklusif sekaligus toleransi positif di
kalangan umat yang beragam sejalan dengan semangat al-Qur'an.
Islam juga
mengajarkan bahwa semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan dan
pengajaran tanpa memandang pangkat, golongan, kecacatan seserotang maupun
hal-hal yang lain. Islam melarang keras melakukan diskriminasi dalam hal
pendidikan.
Allah memperjelas hal tersebut dengan
diturunkannya surat abasa’ yang menegur Nabi Muhammad Saw. karena
beliau bermuka masam dan berpaling dari orang buta. Al Qur’an menceritakan
kisah tersebut sebagai berikut:
Diterangkan oleh beberapa
kalangan mufassir,”pada suatu hari, rasulullah saw. Berdialog dengan orang
pembesar Quraisy . Dalam riwayat Anas bin malik r.a disebutkan pembesar itu
bernama Ubay bin Khalaf. Menurut riwayat Ibnu Abbas, mereka itu adalah Utbah
bin Rabi;ah , Abu Jahal bin Hisyam, dan Abbas bin Abdul Muthalib. Beliau sangat
sering melayani mereka dan sangat menginginkan agar mereka beriman.[10]
Kemudian sesaat itu kemudian datanglah seorang tuna netra
yang miskin, bernama Ibnu Ummi maktum kepada rasulluah saw yang sedang sibuk
mengurusi sejumlah pembesar Quraisy tersebut. Beliau berharap bahwa dengan
mereka memeluk agama Islam mereka akan membawa kebaikan bagi islam yang selama
ini dipersulit dan ditekan di mekkah. Rasulluah saat tidak senang
kalau pembicaraan dan perhatiaan beliau terhadap tokoh-tokoh quraisy tersebut
terputus. Ketidaksenangan beliau tampak di wajahnya, yang sudah tentu tidak
terlihat oleh lelaki tuna netra itu.[11]
Sehingga karena
peristiwa tersebutlah Allah menurunkan surat Abasa’ yang
merupakan dasar pendidikan inklusi di dalam Islam. Di dalam surat
tersebut Allah ingin menjelaskan kepada kita semua bahwa kita wajib peduli
terhadap manusia lain yang memiliki kekurangan fisik ataupun mentalnya. Allah
menegur Rasulluah pada saat itu, dan Rasulluah akhirnya pada saat itu menyadari
akan kekhilafannya dan segera Rasulluah berubah dan bersikap lebih baik lagi
kepada siapapun. Surat tersebut merupakan cahaya bagi islam dalam bersikap
kepada sesama makhluk ciptaan Allah yang berbagai macam. Adapun konsep inklusi
yang terjadi hari ini adalah sama dengan konsep tersebut di atas.
Sesungguhnya
Allah tidak melihat bentuk fisik seorang muslim, namun Allah melihat hati dan
perbuatannya. Hal ini dinyatakan juga dalam salah satu hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, yaitu:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم: إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ
يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Artinya:
“dari
Abu Hurairah RA: Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah tidak melihat
kepada bentuk dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan
perbuatan kalian”.[12]
Selain di lihat dari landasan Islam
terhadap pendidikan inklusi juga bisa di lihat dari landasan Filosofis bangsa
Indonesia terhadap pendidikan inklusi yang memegang teguh semboyan Bhineka
Tunggal Ika, suatu semboyan yang pertama kali dikemukakan oleh Empu Tantular
pada zaman Majapahit. Berdasarkan semboyan itu pula, bangsa Indonesia merebut
kemerdekaannya dari penjajahan bangsa lain, dan berdasarkan semboyan itu pula,
bangsa Indonesia membangun sistem pendidikannya. Semboyan Bhineka tunggal ika,
sering diterjemahkan sebagai ”berbeda tapi satu” .meskipun demikian,
interpretesi tiap orang tentang apa yang berbeda dan apa yang satu mungkin
berbeda-beda.[13]
Implikasi
dari keyakinan bahwa seluruh manusia berasal dari sumber yang satu yaitu Tuhan,
berarti manusia seluruhnya adalah makhluk Tuhan. Dengan demikian seluruh
manusia adalah bersaudara karena sama-sama makhluk Tuhan.
Adanya persamaan keyakinan sama-sama makhluk Tuhan dan rasa persaudaraan
tersebut menurut Harun Nasution bisa menjadi landasan toleransi.[14]
Adanya keyakinan itu mengasumsikan bahwa ciptaan-Nya
juga pada hakikatnya adalah suatu kesatuan. Pandangan
ini membawa pada kesimpulan bahwa seluruh jagad raya (universe)
termasuk di dalamnya seluruh umat manusia apapun bangsa dan bahasanya adalah
merupakan makhluk Tuhan juga, meskipun fisik, mental, intelektual, sosial,
budaya, serta agamanya berbeda.
Bertolak dari
pandangan ini, dimungkinkan bahwa Islam dapat menjadi pijakan bagi pendidikan inklusif tersebut. Pendikriminasian yang
masih belum teratasi di Negara ini perlu menjadi perhatian khusus agar
masyarakat yang meliputi anak-anak berkebutuhan khusus bisa merasakan
pendidikan sebagaimana mestinya. Satu diantara cara yang tepat adalah
pendidikan inklusif yang dilakukan secara aktual, komitmen dan jujur.
PENUTUP
Konsep pendidikan inklusi muncul dimaksudkan untuk memberi
solusi, adanya perlakuan diskriminatif dalam layanan pendidikan bagi anak-anak
penyandang cacat atau anak-anak yang berkebutuhan khusus maupun kaum yang
termarginalkan.
Sikap masyarakat inklusif yang perlu
dikembangkan menumbuhkan jiwa sportif dalam bersosialisasi dan hidup bersama
dengan orang lain, sehingga terdorong untuk mengelola perbedaan dengan baik
atau mengembangkan kompetisi yang sehat meskipun memiliki pandangan dan cara
hidup yang berbeda.
Islam juga mengajarkan bahwa semua orang berhak untuk
mendapatkan pendidikan dan pengajaran tanpa memandang pangkat, golongan,
kecacatan seseorang maupun hal-hal yang lain. Islam melarang keras melakukan
diskriminasi dalam hal pendidikan. Maka pendidikan inklusif lah yang menjadi
cara yang terbaik untuk menghargai dan menghormati sesuai ajaran agama Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Imam Abi Husain Muslim bin Al Hajjaj, Shahih Muslim, (Kairo: Daar
Ibnu Al Haitam, 2001).
Fuad Ihsan, Dasar-dasarKependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta. 2001).
Muhammad
Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah
Ringkasan tafsir Ibnu Katsir,Penerjemah Syihabbudin(Jakarta:gema
Insani,2005).
Mulyono
Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak
berkebutuhan Khusus,Cet II(Jakarta:PT Rineka Cipta,2003).
Nasution, Harun. Islam Rasional.
Bandung:Mizan, 1995.
Redja Mudyahardjo, Filsafat
Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2001).
Sayyid
Quthb,Tafsir Fi Zhilalil Qur’an,terjemahan
As’ad Yasin(Jakarta:gema Insani press,2001).
UU
RI Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003.
Jakarta: Cemerlang, 2003.
[1]QS. al-Hujurât : 13
[3]Ajaran kemajemukan keagamaan itu menandaskan
pengertian bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang
akan ditanggung oleh para pengikut agama itu masing-masing, baik itu secara
pribadi maupun kelompok. Sikap ini dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan
kepada semua agama yang ada, yaitu karena semua agama pada mulanya menganut prinsip yang sama,
yaitu keharusan manusia untuk berserah diri kepada Yang Maha Esa, maka
agama-agama itu, baik karena dinamika internalnya sendiri atau karena
persentuhan nilai satu sama lain, akan secara berangsur-angsur menemukan
kebenaran asalnya sendiri, sehingga semuanya akan bertumpu pada satu titik
pertemuan.
[6] UNESCO, 1994
[7] UNESCO, 1994
[9]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 45-46.
[10] Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah Ringkasan tafsir Ibnu Katsir,Penerjemah
Syihabbudin(Jakarta:gema Insani,2005)h.910
[11] Sayyid Quthb,Tafsir
Fi Zhilalil Qur’an,terjemahan As’ad Yasin(Jakarta:gema Insani press,2001)h.
172
[12] Al Imam Abi Husain Muslim bin Al
Hajjaj, Shahih Muslim, (Kairo: Daar Ibnu Al Haitam, 2001), h. 655
[13]Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak berkebutuhan Khusus,Cet
II(Jakarta:PT Rineka Cipta,2003)h. 27
Komentar
Posting Komentar