Ini Paper yang ngebuat aku menjadi juara 2 dalam lomba MTQM tingkat fakultas pada kategori Karya Tulis Ilmiah AL-QUR'AN


PENDIDIKAN INKLUSIF PENDIDIKAN YANG ISLAMI

Abstrak

Isu-isu tentang persamaan hak dalam dunia pendidikan menjadi isu hangat saat ini, satu diantaranya di picu oleh kenyataan terjadinya diskriminasi di dunia pendidikan. Diskriminasi sangat dilarang sebagai umat beragama, terlebih Islam.
Islam sangat mengahargai perbedaan dan melarang pendiskriminasian. Oleh karena itu, pendidikan inklusif hadir menjawab konflik yang terjadi di dunia pendidikan dengan dasar agama Islam. Maka pendidikan inklusif dapat di sebut dengan pendidikan yang islami. Pendidikan inklusif yang islami di harapkan menjadi penerang dan jalan bagi kaum yang termarginalkan untuk merasakan pendidikan yang sebenarnya dan mampu menjadi pemersatu masyarakat sehingga menjadikan masyarakat yang inklusif. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa islam adalah agama yang rahmatan lil’alamin.

Kata kunci : Pendidikan Inklusif, Masyarakat Inklusif dan Pendidikan Inklusif di Indonesia.

Pendahuluan

Di antara idealitas keagamaan Islam sebagaimana tertulis dalam al-Qur’an[1] adalah untuk saling mengenal dan menghormati berbagai budaya, ras, dan agama sebagai suatu realitas kemanusiaan. Akan tetapi pada saat yang sama dunia diwarnai konflik akibat SARA serta masih banyaknya ditemukan pendiskriminasian terhadap kaum-kaum yang termarginalkan. Kesenjangan antara idealitas dan realitas itulah yang perlu dijem­batani dengan memberikan pemahaman pendidikan inklusif dalam proses pendidikan keislaman.
Konsep pendidikan inklusif di rasa mampu untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi khususnya di Indonesia. Dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang memiliki pengertian bahwa Indonesia merupakan salah satu bangsa di dunia yang terdiri dari beragam suku, ras, budaya, bahasa, dan agama yang berbeda-beda tetapi dalam kesatuan Indonesia. Semboyan tersebut menjadi pengingat bahwa bangsa Indonesia mempunyai keragaman yang semestinya diperlakukan dengan persamaan.
Dalam hal ini pendidikan inklusif merupakan pende­katan yang bertujuan untuk melakukan perubahan pendidikan dan budaya masyarakat secara menyeluruh, sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan dalam Undang-Undang Nomor  20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 4 ayat 1 yang berbunyi bahwa pendidikan nasional diselenggarakan secara demokratis dan ber­keadil­an serta tidak diskriminatif dengan menjun­jung tinggi hak asasi manusia (HAM), nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.[2]
Ajaran  Islam juga mengajarkan paham pluralitas keagamaan.[3] Bagi orang Islam, dianut suatu keyakinan bahwa sampai hari ini pun di dunia ini akan terdapat keragaman agama. Meskipun ada klaim bahwa kebenaran agama ada pada Islam,[4] namun dalam al-Qur'an juga disebutkan adanya hak orang lain untuk beragama. Dan agama tidak bisa dipaksakan kepada orang lain.[5]  Sikap inilah yang menjadi prinsip pada masa kejayaan Islam sekaligus mendasari kebijakan politik kebebasan beragama.
Inklusivisme Islam tersebut juga memberikan kekuatan bahwa Islam adalah agama terbuka. Islam menolak eksklusivisme, absolu­tisme dan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap plura­lisme. Hal inilah yang perlu ditanamkan pada peserta didik dalam pendidikan agama Islam agar bisa melahirkan sikap inklusif sekaligus toleransi positif terhadap perbedaan.
Dari pandangan ini, Islam dimungkinkan dapat menjadi pijakan bagi pendidikan inklusif tersebut. Dengan demikian dapat berguna untuk menghadapi berbagai fenomena keagamaan di masa depan. Sebuah harapan baik bagi kehidupan berbangsa karena dunia sekarang ini ditandai oleh konflik-konflik sosial yang sarat akan diskriminasi baik dari agama, suku, budaya, jenis kelamin, ekonomi, kondisi fisik, mental, intelektual, sosial, emosi dan sebagainya. Berdasarkan paparan diatas dapat ditarik suatu masalah  bagaimana konsep pendidikan inklusif yang islami?

Pendidikan inklusif

Pendidikan inklusif sebagai sebuah pendekatan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan belajar dari semua anak, remaja dan orang dewasa yang difokuskan secara spesifik kepada mereka yang rawan dan rapuh, terpinggirkan dan terabaikan. Prinsip pendidikan inklusif diadopsi dari Konferensi Salamanca tentang  Pendidikan Kebutuhan Khusus[6] dan diulang kembali pada (Forum Pendidikan Dunia di Dakar,2000).
Secara sederhana inklusif berarti “menyatukan”. Sebenarnya ada tiga istilah yang sering digunakan untuk menggam­barkan masyarakat yang mempunyai keberagaman tersebut (agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda).
Inti dari pendidikan inklusif ialah kesediaan menerima kelompok lain tanpa memandang kondisi fisik, mental, intelektual, social, emosi, ekonomi, jender, etnik, budaya, tempat tinggal, bahasa maupun agama dan memberikan layanan terhadap semua anak dengan sama tanpa perbedaan.
Konsep inklusif tidaklah dapat disamakan dengan kon­sep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bang­sa yang menjadi ciri masyarakat majemuk saja, karena inklusif menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam ke­sede­rajat­an. Inklusif adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.
Inklusif adalah kearifan untuk melihat keanekaraga­man budaya sebagai realitas dalam kehidupan ber­masya­­rakat. Kearifan ini terwujud apabila seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas sebagai sebuah kemestian yang tidak bisa diingkari ataupun ditolak, apalagi dimusnahkan. Inklusif bukan hanya sekedar memasukan anak penyandang disabilitas dan anak-anak yang termarginalkan ke dalam system yang kaku seperti sekarang, bukan pula persoalan mengadaptasikan anak ke dalam sistem, akan tetapi persoalan mengadaptasikan sistem yang ada pada semua anak.
Dengan demikian inklusif harus berbasis pada pan­dangan filsafat yang melihat konflik sebagai fenomena permanen yang lahir bersamaan dengan keanekaragaman dan perubahan yang dengan sendirinya selalu terbawa oleh kehidupan itu sendiri. Secara positif hal tersebut bisa dimaknai sebagai sesuatu yang positif untuk memperkaya spiritualitas dan memperkuat iman. Dengan demikian inklusif bisa diibaratkan seperti burung yang terbang ke angkasa, keluar dari batas-batas keberpihakan yang destruktif, me­lintasi batas-batas konflik untuk memberikan solusi alternatif yang mencerdaskan dan mencerahkan. Sebagaimana yang UNESCO canangkan bahwa pendidikan inklusif berbasis pada Education for All.
Sebagai sebuah ide, inklusif diwacanakan pertama kali di Amerika dan negara-negara Eropa Barat pada tahun 1960-an oleh gerakan yang menuntut diperhatikannya hak-hak sipil (civil right movement). Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk mengurangi praktik diskriminasi di tempat-tempat publik, di rumah, di tempat-tempat kerja, dan di lembaga-lembaga pendidikan, yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Selama itu, di Amerika dan negara-negara Eropa Barat hanya dikenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan kulit putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat tersebut dikelompok­kan sebagai minoritas dengan pembatasan hak-hak mereka.
Inklusif dipandang sebagai sebuah proses dalam merespon kebutuhan beragam semua anak melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi eklusifitas dalam pendidikan (Booth, 1996). Pendidikan inklusif  mencakup perubahan dan modifikasi dalam isi, pendekatan-pendekatan, struktur dan strategi yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua anak sesuai dengan usianya. Pendidikan inklusif dalam pelaksanaannya merupakan tanggung jawab dari system pendidikan biasa untuk mendidik semua anak[7] . Pendidikan inklusif sangat peduli dalam memberikan respon terhadap spectrum kebutuhan belajar yang luas baik dalam setting pendidikan formal maupun pendidikan non-formal.
Inklusif menjadi gagasan yang cukup kontekstual dengan realitas masyarakat saat ini. Prinsip mendasar tentang kesetaraan, keadilan, keterbukaan, dan pengakuan terhadap perbedaan adalah prinsip nilai yang dibutuhkan manusia di tengah himpitan budaya global. Dan pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk membangun kesadaran tersebut. Hal ini karena pendidikan inklusif berusaha mengeksplorasi perbedaan kemudian menyikapi dengan penuh toleran dan semangat.

Masyarakat Inklusif

Pendidikan inklusif adalah bagian dari strategi untuk memajukan masyarakat inklusif. Masyarakat inklusif memungkinkan semua anak dan orang dewasa  bagaimanapun keadaan mereka, gender, kemampuan, ketidak mampuan serta etnik untuk berpartisipasi dan berkonstribusi di dalam masyarakat. Prinsip-prinsip inklusif sebenarnya telah muncul dalam tatanan masyarakat kita. Semangat dan nilai-nilai Bhinika Tunggal Ika telah tumbuh dan tertanam serta telah diajarkan oleh leluhur masyarakat bangsa kita.
Fakta bahwa Indonesia merupakan sebuah negara besar yang multi budaya, multi agama serta multi keberagaman yang lain sesungguhnya merupakan sebuah media yang subur atas tumbuh dan berkembangnya inklusifitas. Masyarakat inklusif bersifat terbuka dan universal serta ramah bagi semua yang setiap anggotanya saling mengakui keberadaan, menghargai dan mengikutsertakan perbedaan.
Dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa inklusif merupakan sebuah nilai baru yang dipaksakan untuk masuk dan diadobsi oleh tatanan masyarakat kita, namun sebaliknya, justru merupakan nilai-nilai yang telah lama tertanam dalam tatanan sosial bangsa Indonesia. Sikap masyarakat inklusif yang perlu dikembangkan menumbuhkan jiwa sportif dalam bersosialisasi dan hidup bersama dengan orang lain, sehingga terdorong untuk mengelola perbedaan secara etnis  atau mengembangkan kompetisi yang sehat meskipun memiliki pandanagan dan cara hidup yang berbeda.
Pada saatnya nanti masyarakat diharapkan memiliki sikap positif terhadap keragaman setiap anak dan keragaman itu diakomodasi dalam pembelajaran di sekolah, serta menyadari dengan baik bahwa anak-anak berkebutuhan khusus sangat dekat di antara kita. Hanya saja, pemikiran masyarakat yang negatif yang membuatnya terasa jauh.

Pendidikan Inklusif dalam Konteks Indonesia

Terdapat dua istilah yang sering digunakan dalam dunia pen­didikan yaitu “pedagogi” dan “pedagogik”. Pedagogi berarti pendidi­k­an, sedangkan pedagogik berarti ilmu pendidikan.[8]
Secara sederhana, pendidikan adalah usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan.
Dalam pengertian yang luas pendidikan sama dengan hidup, dalam arti segala situasi dalam hidup yang mempengaruhi pertumbu­han seseorang. Pendidikan juga bisa diartikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya. Sehingga pendidikan tidak berlangsung dalam batas usia tertentu tetapi sepan­jang hidup manusia.[9]
Sedangkan pendidikan inklusif pada dasarnya adalah kesediaan menerima kelompok lain tanpa memandang perbedaan dan menghargai keberagaman. Pendidikan inklusif berkenaan dengan aktivitas memberikan respon yang sesuai terhadap kebutuhan belajar baik dalam setting pendidikan formal maupun nonformal. Namun, pada kenyataannya tidak mudah mengimplementasikan pendidikan inklusif tersebut.
Pendidikan inklusif diharapkan dapat menyelesaikan per­soal­an diskriminasi yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia atau paling tidak, mampu memberikan penyadaran (consciousness) kepada masyarakat atau pihak sekolah bahwa pendiskriminasian bukan suatu hal yang baik untuk dibudayakan. Selanjutnya pendidikan juga harus mampu memberikan tawaran-tawaran yang mencerdaskan, antara lain dengan cara mendesain materi, metode, hingga kurikulum yang mampu menyadarkan masyarakat akan pen­tingnya sikap saling mengahragai, menghormati perbedaan kondisi fisik, mental, sosial, emosi masyarakat Indonesia.
Adapun visi dari pendidikan inklusif adalah mengoptimalkan potensi siswa dengan kebutuhan khusus, sehingga dapat memenuhi tahapan perkembangan sesuai usianya dan dapat mandiri di kehidupan sehari-hari. Serta misinya adalah Wadah pendidikan dan laboratorium sosial bagi anak dengan kebutuhan khusus yang bertujuan untuk: menjadi individu yang mandiri, mengoptimalkan kapasitas individu, mengoptimalkan perkembangan emosi melalui pendekatan holistik antara sekolah, orangtua, dan tim profesional agar mereka mampu menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial.
Alasan yang melatarbelakangi adanya pendidikan inklusif adalah semua anak mempunyai hak untuk belajar bersama tanpa memandang perbedaan, anak tidak harus diperlakukan diskriminatif dengan dipisahkan dari kelompok lain karena keterbatasan yang dimilikinya, tidak ada alasan untuk memisahkan pendidikan bagi anak yang memiliki kekurangan , karena setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, dengan komitmen dan dukungan yang baik pendidikan inklusi lebih efisien dalam penggunaan sumber belajar, selain itu semua anak memerlukan pendidikan yang membantu mereka berkembang untuk hidup dalam masyarakat yang normal serta hanya sistem inklusilah yang berpotensi untuk mengurangi rasa kekhawatiran, membangun rasa persahabatan dan saling mengahargai.
Hal yang harus di garis bawahi dalam pemahaman sistem pendidikan inklusif adalah bahwa semua anak mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing yang menjadi tolak ukur untuk melaksanakan pembelajaran yang fleksibel serta memenuhi kebutuhan anak. Di dunia ini, khususnya di Indonesia tidak hanya terdapat anak-anak yang biasanya kita sebut dengan anak “normal”, namun juga terdapat anak-anak yang memiliki keterbatasan atau hambatan dalam segi fisik, sosial, mental serta intelektual yang di bawah rata-rata. Oleh karena itulah, sistem pendidikan inklusif mampu menjawab kekhawatiran jika anak-anak tersebut tidak mendapat pendidikan yang ramah.

Pendidikan Inklusif Pendidikan yang Islami

Pada umumnya pendidikan agama di sekolah formal tidak menghidupkan pendidikan inklusif dengan baik, bahkan hampir tidak di singgung sama sekali. Akibatnya, peserta didik tidak mendapatkan pelajaran tentang bagaimana mengahadapi perbedaan serta menerima kekurangan dan keterbatasan orang di sekitarnya.
Sikap inklusif sebenarnya telah ada sejak jaman nabi Muhammad Saw. yang sangat menghargai akan perbedaan, baik itu perbedaan suku, fisik, maupun agama. Islam sangat menolak eksklusivisme, absolu­tisme. Hal inilah yang perlu ditanamkan pada peserta didik dalam pendidikan agama Islam agar bisa melahirkan sikap inklusif sekaligus toleransi positif di kalangan umat yang beragam sejalan dengan semangat al-Qur'an.
Islam juga mengajarkan bahwa semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran tanpa memandang pangkat, golongan, kecacatan seserotang maupun hal-hal yang lain. Islam melarang keras melakukan diskriminasi dalam hal pendidikan.
Allah memperjelas hal tersebut dengan diturunkannya surat abasa’ yang  menegur Nabi Muhammad Saw. karena beliau bermuka masam dan berpaling dari orang buta. Al Qur’an menceritakan kisah tersebut sebagai berikut:
Diterangkan oleh beberapa kalangan mufassir,”pada suatu hari, rasulullah saw. Berdialog dengan orang pembesar Quraisy . Dalam riwayat Anas bin malik r.a disebutkan pembesar itu bernama Ubay bin Khalaf. Menurut riwayat Ibnu Abbas, mereka itu adalah Utbah bin Rabi;ah , Abu Jahal bin Hisyam, dan Abbas bin Abdul Muthalib. Beliau sangat sering melayani mereka dan sangat menginginkan agar mereka beriman.[10]
Kemudian sesaat itu kemudian datanglah seorang tuna netra yang miskin, bernama Ibnu Ummi maktum kepada rasulluah saw yang sedang sibuk mengurusi sejumlah pembesar Quraisy tersebut. Beliau berharap bahwa dengan mereka memeluk agama Islam mereka akan membawa kebaikan bagi islam yang selama ini dipersulit dan ditekan di mekkah. Rasulluah saat  tidak senang kalau pembicaraan dan perhatiaan beliau terhadap tokoh-tokoh quraisy tersebut terputus. Ketidaksenangan beliau tampak di wajahnya, yang sudah tentu tidak terlihat oleh lelaki tuna netra itu.[11]
Sehingga karena peristiwa tersebutlah Allah menurunkan surat Abasa’ yang merupakan  dasar pendidikan inklusi di dalam Islam. Di dalam surat tersebut Allah ingin menjelaskan kepada kita semua bahwa kita wajib peduli terhadap manusia lain yang memiliki kekurangan fisik ataupun mentalnya. Allah menegur Rasulluah pada saat itu, dan Rasulluah akhirnya pada saat itu menyadari akan kekhilafannya dan segera Rasulluah berubah dan bersikap lebih baik lagi kepada siapapun. Surat tersebut merupakan cahaya bagi islam dalam bersikap kepada sesama makhluk ciptaan Allah yang berbagai macam. Adapun konsep inklusi yang terjadi hari ini adalah sama dengan konsep tersebut di atas.
Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk fisik seorang muslim, namun Allah melihat hati dan perbuatannya. Hal ini dinyatakan juga  dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yaitu:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Artinya:
“dari Abu Hurairah RA: Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kalian”.[12]
Selain di lihat dari landasan Islam terhadap pendidikan inklusi juga bisa di lihat dari landasan Filosofis bangsa Indonesia terhadap pendidikan inklusi yang memegang teguh semboyan Bhineka Tunggal Ika, suatu semboyan yang pertama kali dikemukakan oleh Empu Tantular pada zaman Majapahit. Berdasarkan semboyan itu pula, bangsa Indonesia merebut kemerdekaannya dari penjajahan bangsa lain, dan berdasarkan semboyan itu pula, bangsa Indonesia membangun sistem pendidikannya. Semboyan Bhineka tunggal ika, sering diterjemahkan sebagai ”berbeda tapi satu” .meskipun demikian, interpretesi tiap orang tentang apa yang berbeda dan apa yang satu mungkin berbeda-beda.[13]

Implikasi dari keyakinan bahwa seluruh manusia berasal dari sumber yang satu yaitu Tuhan, berarti manusia seluruhnya adalah makhluk Tuhan. Dengan demikian seluruh manusia adalah ber­saudara karena sama-sama makhluk Tuhan. Adanya persamaan keya­kin­an sama-sama makhluk Tuhan dan rasa persaudaraan tersebut menurut Harun Nasution bisa menjadi landasan toleransi.[14] Adanya keya­kinan itu mengasumsikan bahwa ciptaan-Nya juga pada hakkatnya adalah suatu kesatuan. Pandangan ini membawa pada ke­simpulan bahwa seluruh jagad raya (universe) termasuk di dalamnya seluruh umat manusia apapun bangsa dan bahasanya adalah merupa­kan makhluk Tuhan juga, meskipun fisik, mental, intelektual, sosial, budaya, serta agamanya ber­beda.
Bertolak dari pandangan ini, dimungkinkan bahwa Islam dapat menjadi pijakan bagi pendidikan inklusif tersebut. Pendikriminasian yang masih belum teratasi di Negara ini perlu menjadi perhatian khusus agar masyarakat yang meliputi anak-anak berkebutuhan khusus bisa merasakan pendidikan sebagaimana mestinya. Satu diantara cara yang tepat adalah pendidikan inklusif yang dilakukan secara aktual, komitmen dan jujur.

PENUTUP

Konsep pendidikan inklusi muncul dimaksudkan untuk memberi solusi, adanya perlakuan diskriminatif dalam layanan pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat atau anak-anak yang berkebutuhan khusus maupun kaum yang termarginalkan.
Sikap masyarakat inklusif yang perlu dikembangkan menumbuhkan jiwa sportif dalam bersosialisasi dan hidup bersama dengan orang lain, sehingga terdorong untuk mengelola perbedaan dengan baik atau mengembangkan kompetisi yang sehat meskipun memiliki pandangan dan cara hidup yang berbeda.
Islam juga mengajarkan bahwa semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran tanpa memandang pangkat, golongan, kecacatan seseorang maupun hal-hal yang lain. Islam melarang keras melakukan diskriminasi dalam hal pendidikan. Maka pendidikan inklusif lah yang menjadi cara yang terbaik untuk menghargai dan menghormati sesuai ajaran agama Islam.





DAFTAR PUSTAKA

Al Imam Abi Husain Muslim bin Al Hajjaj, Shahih Muslim, (Kairo: Daar Ibnu Al Haitam, 2001).
Fuad Ihsan,  Dasar-dasarKependidikan,  (Jakarta: Rineka Cipta. 2001).
Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah Ringkasan tafsir Ibnu Katsir,Penerjemah Syihabbudin(Jakarta:gema Insani,2005).
Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak berkebutuhan Khusus,Cet II(Jakarta:PT Rineka Cipta,2003).
Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung:Mizan, 1995.
Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001).
Sayyid Quthb,Tafsir Fi Zhilalil Qur’an,terjemahan As’ad Yasin(Jakarta:gema Insani press,2001).
UU RI Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003. Jakarta: Cemerlang, 2003.






[1]QS. al-Hujurât : 13
[2]UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Cemerlang, 2003), hlm. 8.
[3]Ajaran kemajemukan keagamaan itu menandaskan pengertian bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut agama itu masing-masing, baik itu secara pribadi maupun kelompok. Sikap ini dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama yang ada, yaitu karena semua agama pada mulanya menganut prinsip yang sama, yaitu keharusan manusia untuk berserah diri kepada Yang Maha Esa, maka agama-agama itu, baik karena dinamika internalnya sendiri atau karena persentuhan nilai satu sama lain, akan secara berangsur-angsur menemukan kebenaran asalnya sendiri, sehingga semuanya akan bertumpu pada satu titik pertemuan.
[4]QS. Âli 'Imrân : 13.
[5]QS. al-Baqarah : 256.
[6] UNESCO, 1994
[7] UNESCO, 1994
[8]Fuad Ihsan,  Dasar-dasarKependidikan,  (Jakarta: Rineka Cipta. 2001), hlm. 1.
[9]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 45-46.
[10] Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah Ringkasan tafsir Ibnu Katsir,Penerjemah Syihabbudin(Jakarta:gema Insani,2005)h.910
[11] Sayyid Quthb,Tafsir Fi Zhilalil Qur’an,terjemahan As’ad Yasin(Jakarta:gema Insani press,2001)h. 172
[12] Al Imam Abi Husain Muslim bin Al Hajjaj, Shahih Muslim, (Kairo: Daar Ibnu Al Haitam, 2001), h. 655
[13]Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak berkebutuhan Khusus,Cet II(Jakarta:PT Rineka Cipta,2003)h. 27
[14]Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 269.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Anak Tunalaras

PENGARUH PERKEMBANGAN TEKNOLOGI (HP) PADA PERKEMBANGAN PSIKOLOGI ANAK”

Cerpen Lomba Penerbit GemaMedia